--> Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah | Kang-Mauk (Ibnu Mas'ud)

informasi menarik dan menyenangkan

www.informasibogorbarat.blogspot.com (Blog Kang Maux)

Friday, June 14, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah

| Friday, June 14, 2013

Muslim.or.id: Memurnikan Aqidah Menebarkan Sunnah


Fatwa Ulama: Al Fatihah Setelah Shalat Atau Mengirimnya Untuk Orang Mati

Posted: 14 Jun 2013 04:55 AM PDT

quraisy

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Soal:

Sebagian jama’ah ada yang selalu membaca Al Fatihah setelah shalat. Alasannya karena Al Fatihah itu doa atau berkah. Apakah amalan ini termasuk dalam sunnah Nabi? Dalam kesempatan lain pun mereka mengirimkan Al Fatihah untuk arwah orang yang sudah mati, apa hukum amalan ini?

Jawab:

Tentang membaca Al Fatihah setelah shalat, saya tidak mengetahui adanya dalil dari sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Adapun yang terdapat dalil dari sunnah Nabi ialah membaca ayat Kursi, qul huwallahu ahad, qul a’udzu birabbil falaq, qul a’udzu birabbinnaas. Terdapat banyak hadits yang menganjurkan membaca surat-surat tersebut setelah shalat yang lima waktu. Adapun surat Al Fatihah, saya tidak mengetahui adanya dalil yang menunjukkan disyariatkan membacanya setelah shalat.

Surat-surat yang tadi saya sebutkan, itu pun tidak boleh dibaca dengan cara bersama-sama dengan suara yang dikeraskan. Yang benar adalah setiap orang membaca sendiri-sendiri dengan suara yang didengar oleh diri sendiri.

Adapun mengirimkan Al Fatihah untuk arwah orang mati, ini termasuk amalan bid’ah. Arwah orang mati tidak perlu dikirimkan Al Fatihah ataupun bacaan Qur’an lainnya, karena amalan demikian tidak ada tuntunannya dari sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ataupun dari praktek orang-orang shalih generasi salaf dari umat ini. Dan ini adalah amalan yang tertolak. Jadi tidak diperlu mengirimkan Al Fatihah baik dari masjid, dari kuburan, dari rumah, atau dari tempat lain.

Kepada orang yang sudah meninggal, yang kita kirimkan adalah doa, jika ia orang Muslim. Kita mohonkan rahmah dan maghfirah baginya. Juga bersedekah atas nama mereka. Juga berhaji atas nama mereka. Inilah amalan-amalan yang ada dalilnya. Adapun mengirim Al Fatihah atau ayat Qur’an lain untuk orang yang sudah mati, ini adalah amalan yang diada-adakan dan bid’ah.

 

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/29974

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

Fikih Puasa (2): Rukun dan Niat Puasa

Posted: 13 Jun 2013 07:43 PM PDT

Kesempatan sebelumnya Muslim.Or.Id telah mengangkat pembahasan fikih puasa pertama, yaitu mengenai syarat wajib puasa. Kali ini kita akan melihat pembahasan lainnya dari Matan Al Ghoyah wat Taqrib mengenai rukun puasa puasa.

Al Qodhi Abu Syuja' rahimahullah kembali mengatakan,

"Kewajiban puasa (rukun puasa) itu ada empat: (1) niat, (2) menahan diri dari makan dan minum, (3) menahan diri dari hubungan intim (jima'), (4) menahan diri dari muntah dengan sengaja."

Dari perkataan Abu Syuja' di atas, intinya ada dua hal yang beliau sampaikan. Orang yang menjalankan puasa wajib berniat dan wajib menahan diri dari berbagai pembatal puasa. Mengenai pembatal puasa tersebut akan dibahas secara khusus pada fikih puasa serial ketiga. Sedangkan kali ini kita akan melihat tentang masalah niat.

Pembagian Niat

Niat yang dimaksudkan adalah berkeinginan untuk menjalankan puasa. Dalil wajibnya berniat adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya." (Muttafaqun 'alaih).

Niat puasa Ramadhan barulah teranggap jika memenuhi tiga macam niat:

1- At Tabyiit, yaitu berniat di malam hari sebelum Shubuh.

Jika niat puasa wajib baru dimulai setelah terbit fajar Shubuh, maka puasanya tidaklah sah. Dalilnya adalah hadits dari Hafshoh, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ

"Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya." (HR. An Nasai no. 2333, Ibnu Majah no. 1700 dan Abu Daud no. 2454. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho'if. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Sedangkan untuk puasa sunnah, boleh berniat di pagi hari asalkan sebelum waktu zawal (tergelincirnya matahari ke barat). Dalilnya sebagai berikut,

عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ عَلَىَّ قَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ ». فَإِذَا قُلْنَا لاَ قَالَ « إِنِّى صَائِمٌ »

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa menemuiku lalu ia berkata, "Apakah kalian memiliki makanan?" Jika kami jawab tidak, maka beliau berkata, "Kalau begitu aku puasa." (HR. Muslim no. 1154 dan Abu Daud no. 2455).

Penulis Kifayatul Akhyar berkata, "Wajib berniat di malam hari. Kalau sudah berniat di malam hari (sebelum Shubuh), masih diperbolehkan makan, tidur dan jima' (hubungan intim). Jika seseorang berniat puasa Ramadhan sesudah terbit fajar Shubuh, maka tidaklah sah." (Kifayatul Akhyar, hal. 248).

2- At Ta'yiin, yaitu menegaskan niat.

Yang dimaksudkan di sini adalah niat puasa yang akan dilaksanakan harus ditegaskan apakah puasa wajib ataukah sunnah. Jika puasa Ramadhan yang diniatkan, maka niatannya tidak cukup dengan sekedar niatan puasa mutlak. Dalilnya, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى

"Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan." (Muttafaqun 'alaih)

Adapun puasa sunnah tidak disyaratkan ta'yin dan tabyit sebagaimana dijelaskan pada point 1 dan 2. Dalilnya adalah sebagaimana hadits 'Aisyah yang tadi telah terlewat.

3- At Tikroor, yaitu niat harus berulang setiap malamnya

Niat mesti ada di setiap malamnya sebelum Shubuh untuk puasa hari berikutnya. Jadi tidak cukup satu niat untuk seluruh hari dalam satu bulan. Karena setiap hari dalam bulan Ramadhan adalah hari yang berdiri sendiri. Ibadah puasa yang dilakukan adalah ibadah yang berulang. Sehingga perlu ada niat yang berbeda setiap harinya. (Lihat Al Fiqhul Manhaji, hal. 340-341).

Niat Cukup dalam Hati

Kalau ada yang bertanya bagaimanakah niat puasa Ramadhan, maka mudah kami jawab, "Engkau berniat dalam hati, itu sudah cukup." Karena niat itu memang letaknya di hati. Jadi jika di hati sudah berkehendak mau menjalankan puasa Ramadhan keesokan harinya, maka sudah disebut berniat.

Muhammad Al Hishni berkata,

لا يصح الصوم إلا بالنية للخبر، ومحلها القلب، ولا يشترط النطق بها بلا خلاف

"Puasa tidaklah sah kecuali dengan niat karena ada hadits yang mengharuskan hal ini. Letak niat adalah di dalam hati dan tidak disyaratkan dilafazhkan."(Kifayatul Akhyar, hal. 248).

Muhammad Al Khotib berkata,

إنما الأعمال بالنيات ومحلها القلب ولا تكفي باللسان قطعا ولا يشترط التلفظ بها قطعا كما قاله في الروضة

"Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niat. Namun niat letaknya di hati. Niat tidak cukup di lisan. Bahkan tidak disyaratkan melafazhkan niat. Sebagaimana telah ditegaskan dalam Ar Roudhoh." (Al Iqna', 1: 404).

Itulah rujukan dari kitab Syafi'i mengenai masalah niat. Adapun memakai niat puasa dengan lafazh 'nawaitu shouma ghodin …', maka itu tidak ada dalil yang mendukungnya untuk dilafazhkan. Masalah melafazhkan niat tidak terdapat hal tersebut dalam kitab shahih maupun kitab sunan, padahal masalah tersebut adalah masalah ibadah, namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat tidak pernah mencontohkannya.

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:

  1. Mukhtashor Abi Syuja', Ahmad bin Al Husain Al Ashfahani Asy Syafi'i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
  2. At Tadzhib fii Adillati Matan Al Ghoyah wat Taqrib, Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, terbitan Darul Musthofa, cetakan kesebelas, tahun 1428 H.
  3. Al Iqna' fii Halli Alfazhi Abi Syuja', Syamsudin Muhammad bin Muhammad Al Khotib, terbitan Al Maktabah At Tauqifiyah.
  4. Kifayatul Akhyar fii Halli Ghoyatil Ikhtishor,  Taqiyuddin Abu Bakr Muhammad bin 'Abdul Mu'min Al Hishni, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, 1428 H.
  5. Al Fiqhu Al Manhaji,  Prof. Dr. Musthofa Al Bugho, dkk, terbitan Darul Qolam, cetakan kesepuluh, 1431 H.

@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta, di Jum'at pagi, 5 Sya'ban 1434 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Muslim.Or.Id

Related Posts